Penggalan Pertama Seri Parade Patah Hati.

SEPASANG SEPATU.

Aleida Karenina.
4 min readOct 29, 2022

--

Ditulis oleh: 𝗦𝗜𝗥𝗘𝗡.

Pukul sembilan selepas pelajaran olahraga ruang ganti perempuan dan laki-laki yang terpisah dinding nampak sesak akibat dua kelas yang memiliki jam bertabrakan: Sepuluh C dan Sebelas IPS 2. Perputaran jam yang acak-acakan sebab pihak sekolah yang belum rampungkan rancangan — tahun ajaran baru — menjadikan lima puluh dua siswa semacam kelinci percobaan.

Suara-suara lantang tidak hanya menggedor pintu namun juga gendang telinga. Apalah daya siswa baru lawan kakak kelas yang wajahnya segarang macan kebun binatang.

“Cepet ah! Dasar kelas sepuluh pada lelet!” Sumpah serapah tak terelakkan lolos dari labium merah muda gadis bersurai sebahu. Yang dimarahi cukup tundukkan jemala tanpa sepatah kata guna menghindari bentrok antar remaja.

Nina sengaja mengganti seragam paling akhir, menunggu bilik kosong tanpa penghuni. Lebih baik terlambat masuk kelas ketimbang berjubel dengan omelan dari orang yang tidak dikenali. Benar saja, sisa dia seorang keluar dari ruang ganti, tanpa basa-basi ia meraih tas berisi sepatu olahraga yang bersandar di kursi kayu panjang.

Langkahnya lekas berlomba dengan waktu dan guru Biologi yang nampak dari lorong berlawanan. “Alamak, mampus. Harus aku duluan sih.” Benar saja, terlambat lima jengkal bisa-bisa ia berdiri di luar kelas selama satu jam pelajaran.

Tanpa ia ketahui, seseorang diam-diam mengikuti dengan tas sepatu di tangan kiri berhias gantungan bunga lily.

Lonceng istirahat bergema, anak-anak berhamburan keluar seperti ikan-ikan tuna terbebas jerat dan kembali ke lautan. Gadis itu masih menenteng tas sepatu untuk dibawa ke loker, tempat ia biasa menyimpan barang-barang yang sebaiknya memang tidak dibawa pulang.

Dilewati sosok lanang yang berdiri bersedekap menyandarkan punggung, bukan dengan sengaja ia ingin mencuri pandang, ekor matanya menangkap siluet sesuka hati. “Balikin.” Ucap singkat yang tidak sulit tertangkap indra pendengaran, lorong sunyi, tidak banyak orang lalu lalang, terlebih di sana hanya ada Nina dan sang adam.

“Hah? Apa?” Yang diajak bicara mengerutkan kening, sedang yang mengajak bicara menilik papan kecil yang bertengger di dada kanan si puan. “Balikin sepatu saya, Karenina.” Terangnya sekali lagi, dibubuh nama dengan penekanan nada.

Aneh, tidak saling mengenal tapi sudah berani menodong, pikirnya.

Sebab tidak diberi balasan dan sang gadis nampak tak acuh dengan keberadaannya: membuang atensi dari Sultan, siswa kelas Sebelas IPS 2, kuasanya menggebrak pintu besi yang dijadikan sandaran. “Saya ini ngomong sama kamu, ya.” Tidak keras namun cukup mengejutkan, hanya kaget bukan berarti takut.

“Sepatu apa sih, Kak? Orang aku nggak ngerti yang Kakak maksud,” Jawabnya tidak kalah meninggikan suara. “Itu tas punya saya, ini punya kamu, makanya balikin,” Nada bicaranya masih sama, belum setinggi milik Nina.

Ia melirik tas yang sejak tadi dibawa, tanpa sadar memang ada perbedaan meski terlihat serupa. Milik Nina selalu ada gantungan kunci bunga lily dan sesuai dengan yang disodorkan oleh kakak kelasnya. “Bilang dong kalau ketuker, jangan asal minta balikin. ‘Kan aku juga nggak paham maksud Kakak.”

Keduanya saling bertukar dan menerima tas milik masing-masing, diperiksa isinya agar tidak terjadi kesalahpahaman lain. “Saya memang sengaja mau godain kamu kok, lucu sih.” Balasan disusul gelak tawa renyah, berlalu tanpa embel-embel tambahan, tidak pula ia biarkan Nina melihat name tag di dadanya. Bahkan tiba-tiba rasa penasaran menyelinap di kepala: dari mana dia tahu bahwa Nina yang membawa tas kepunyaannya?

Sultan setia menanti di ujung lorong hingga sepi. Gadis bunga lily tidak kunjung menampakkan diri. Sudah hampir tiga puluh menit berlalu usai lonceng pulang sekolah berbunyi, siswa-siswi pun berlomba-lomba tinggalkan sekolah lebih dulu. Manik matanya memicing, dari lorong yang lain terlihat satu siswi berjalan sendiri, langkahnya berat seperti ingin menetap.

“Karenina.” Tangan kanan terangkat di udara serta mengulas senyuman hangat bak menolak kenyataan bahwa mereka belum akrab bahkan tidak dapat dikatakan saling mengenal. Sepasang alis yang disapa bertaut, heran, “Kakak yang tadi, ‘kan? Ngapain di sini?” Ia bertanya tanpa menghentikan langkah, melewati Sultan begitu saja. “Nungguin kamu.” Jawaban yang mampu membungkam Karenina dengan lekas, namun justru menimbulkan banyak pertanyaan di dalam kepala.

“Buat apa nungguin — ?” “Kamu lama banget keluarnya, ngapain aja sih di dalam? Ngga pengen cepet-cepet balik?” Pertanyaan dipotong halus dengan pertanyaan lain yang sedikit menuntut. Tidak ada sepatah kata sebagai balasan, hanya hembusan napas panjang yang terdengar. “Hey, kenapa? Ada masalah di rumah?” Sultan melangkah lebih cepat agar dapat menghentikan tapak tungkai sang puan yang dihadang. “Ya, aku malas saja pulang. Rumahku juga bukan rumah.”

Nina mengambil sisi lain agar dapat mendahului sang adam, “Kakak ngapain nunggu dan ngikutin aku?” Yang ditanya tetap bergeming, meski masih mengekori hingga keduanya tinggalkan kawasan sekolah. “Ikut saya, yuk.” Tanpa aba-aba, telapak mereka bertaut — ralat, Sultan menggamit kuasanya erat agar tidak menolak.

Setiap tanya yang terlontar, protes yang dilempar, bahkan peringatan yang bertubi-tubi dilayangkan tidak membuat sang wira menyudahi aksi nekatnya. Membawa Karenina ke sebuah tempat berjarak satu kilometer dengan berjalan kaki.

“Kamu cerewet sekali, kita sudah sampai. Kamu pernah ke sini belum?” Setengah dihempas genggaman mereka terlepas, ditunjukkan pada sang gadis pemandangan pantai di hadapan dengan hamparan pasir putih yang menawan. Dwinetranya menyisir dari ujung ke ujung perlahan, sejak pindah ke sini ia hanya tahu berangkat dan pulang sekolah. Bermain dan jalan-jalan adalah kegiatan yang paling jarang dilakukan.

Sorot mata berbinar-binar tidak dapat menipu, Sultan yang menangkap kecantikan sekaligus kegembiraan pada paras Karenina tersenyum merekah. “Cantik, ‘kan? Saya senang habiskan waktu sendiri di sini, ini tempat rahasia saya.” Ia tergelak lantas membalas, “Ini ‘kan tempat umum.”

Mereka duduk di tepi pantai beralaskan sepatu, memandang riak gelombang air laut yang sesekali membasahi kaki. “Masih protes saya ngikutin kamu?” Ia terlupa bahwa di sisinya ada orang lain sebab sejak tiba keduanya mengunci bibir masing-masing hingga Sultan lebih dulu memecah keheningan. “Enggak, meski aku masih banyak penasaran soal Kak Sultan,” Sahutnya tanpa ragu dan terlampau jujur.

Selanjutnya, ditemani semilir angin laut dan terik matahari yang mulai tergelincir turun, Sultan dan Nina menikmati waktu-waktu dalam diam. Sesekali dihiasi perbincangan ringan tanpa menunjukkan betapa tinggi dan besarnya rasa penasaran — keingintahuan— terhadap satu sama lain.

𝐏𝐞𝐧𝐠𝐠𝐚𝐥𝐚𝐧 𝐩𝐞𝐫𝐭𝐚𝐦𝐚, 𝐬𝐞𝐥𝐞𝐬𝐚𝐢.

--

--

Aleida Karenina.
Aleida Karenina.

Written by Aleida Karenina.

0 Followers

FIKSI. Segudang kisah dan hal-hal yang berkaitan dengan sang tokoh. Milik: 𝗦𝗜𝗥𝗘𝗡.

No responses yet